Prasetyo (TI) – Pras
Heboh ITB 70
Part One
Kali ini alumni ITB ‘70 membuat kehebohan lagi, ikut Relay 16 BNI-ITB Ultra Marathon 2018! Hebohnya lagi, keenam belas pelari ini berhasil menyelsaikan etapenya. Sementara di garis finis di kampus ITB, meski kami bukan nomor 1, tapi bukan pula di posisi buncit. Sejak awal kami sadar bahwa kami bukanlah kumpulan pelari tercepat. Lihat saja, total usia tim kami 272 tahun lebih senior dari tim ITB ‘87, finisher nomor 2. Lalu bagaimana kami bisa bersemangat mengikuti BNI-ITB Ultra Marathon 2018?
Energi sebagai tim, sesungguhnya sudah terbentuk sebelum event UM ini. Kami bertemu secara teratur di Escape Coffee, setidaknya sebulan sekali. Escape Coffee menjadi posko tempat bertemu, bertatap muka, berkomunikasi, di samping obrolan melalui sosmed. Begitu ada gagasan untuk turut serta di BNI-ITB UM 2018, dengan segera bisa menanggapi dan menindaklanjuti.
Dengan cepat daftar nama tim pelari ITB ‘70 bisa disusun. Pada saat bersamaan dilakukan kampanye bahwa ITB ‘70 akan berlari untuk mengumpulkan dana bagi ITB. Setiap langkah akan kita jual dan disumbangkan ke Dana Lestari ITB. Segala gerakan untuk kebaikan ITB sudah cukup membakar semangat alumni ITB ‘70 untuk turut berpartisipasi.
Tantangan realitas mulai berdatangan. Ada yang bentrok dengan acara keluarga, ada yang jatuh sakit, ada juga yang urung setelah ditetapkan jarak etape 10 km. Nama-nama tim pelari mulai stabil setelah 3 minggu, terdiri atas alumni ITB ‘70 yang tinggal di Jakarta dan Bandung.
Rekan-rekan yang bukan tim pelari tidak berdiam diri. Berbagai nama dilekatkan, tim pendamping, tim support, de sorakers, dan lainnya. Tim-tim ini berperan penting mendukung keberhasilan para pelari, yang mendampingi sejak pembentukan hingga selesai. Mereka mendorong, mendukung, dan menyemangati tim pelari. Inilah tim ITB ‘70 untuk BNI-ITB Ultra Marathon 2018: 16 orang pelari, dan 50 lebih aktivis alumni sebagai
Arlina Gumira (TP) – Lien
Pengalaman Pertama
Awal cerita saya bergabung dalam tim R-16 ITB ‘70 karena diajak oleh Prof Ning dan Meltje. Tadinya sekadar berpartisipasi sebagai penggembira, dengan catatan hanya untuk jarak 5 km. Dan, semula sebagai penyambut dan menemani pelari terakhir masuk ke garis finis.
Pada beberapa kali pertemuan di Escape, saya hadir untuk mendengarkan penjelasan Mas Susilo (Ketua Yayasan Solidarity Forever), Uda Iyal (Ketua Tim Marathoners ITB ‘70) dan Mas BWS (komandan/pelatih). Kemudian terbentuk tim yang berjumlah 16 orang, sedangkan saya belum termasuk sebagai anggota tim.
Tapi, saya mencoba berlatih. Pertama kali di Sabuga ITB sebanyak 4 putaran. Latihan kedua sudah bertambah menjadi 10 putaran. Berikutnya saya jalan dari rumah ke Otista pulang pergi sambil mampir belanja beberapa kebutuhan, bahkan singgah di Jalan Pasteur. Ternyata lumayan, saya menempuh jarak sekitar 11 km, sedangkan waktunya masih leluasa.
Pada pertemuan berikutnya, diperoleh kabar bahwa Prof Cyccu tidak jadi ikut sehingga saya diminta menggantikan. Saya agak gelisah juga karena teman-teman Jakarta serius berlatih secara rutin dengan peningkatan waktu yang signifikan. Sedangkan latihan saya belum maksimal karena beberapa kali mendapat tugas ke luar Jawa. Selesai pertemuan malam itu, ternyata teman-teman Jakarta akan berlatih. Kesempatan bagi saya untuk ikut. Mulai dari sekitar pukul 21.00, keliling lingkar luar GBK, mencapai jarak 5 km. Alhamdulillah saya bisa mengikuti kecepatan teman-teman.
Minggu berikutnya, sebagian grup Bandung (Kang Iyus, Prof Ningsih, Roy, dan saya) survei lokasi mulai dari WS 11, 12, 13, 14, 15. Waktu itu saya kebagian WS 13. Ternyata medannya berat, banyak kelokan tajam dengan tanjakan lumayan curam. Lalu lintasnya sangat padat, truk dan bus saling susul, sedangkan trotoar yang tersedia tak memadai jumlahnya. Tapi Kang Iyus, Roy dan saya tetap mencoba medan tersebut sampai sekitar 2 km. Kelihatan kelincahan Kang Iyus berlari. Tanjakan dilaluinya dengan cepat dan mudah.
Melihat hal itu, saya lalu minta kerelaan Kang Iyus dan izin dari Pak Ketua untuk bertukar tempat. Jalur yang akan dilalui Kang Iyus relatif datar dibandingkan jalur saya. Alhamdulillah, Kang Iyus dengan senang hati mau melakukannya. Mungkin kasihan melihat saya yang mengiba-iba.
Minggu berikutnya Prof Ning, Roy dan saya melakukan lagi uji coba di lokasi sesuai etape masing-masing. Namun, sekali ini di siang hari ketika panas terik. Saya menempuh jarak 11 km didampingi Gina, istri Roy, dan dikawal oleh Kang Tutang. Alhamdulillah uji coba berhasil saya lalui.
Sementara latihan berjalan, rupanya langkah para pelari ITB ‘70 sudah banyak laku terjual. Termasuk langkahku yang dibeli oleh teman-teman TP (dikoordinir oleh Ermi), Nin YP (untuk seluruh jarak yang kutempuh) dan Suci. Terima kasih yang mendalam untuk teman-teman karena membuatku kian bersemangat dukungan dari teman-teman ITB ‘70. Lalu masih ada lagi kadeudeuh. Rasanya seperti marathoner sungguhan.
Hari yang dinanti
Di hari H, kami berkumpul di base camp di Kota Baru Parahyangan. Tim suporter telah mengatur jadwal dan menyediakan berbagai keperluan pelari. Mulai dari yang menjadi pendamping dan pengawal hingga keperluan makan dan minum, semua sudah dibereskan. Tim suporter ini terdiri atas Budos Hira, Ida, Suci, Kang Dedi, Kang Mawardi. Sedangkan pengawal adalah Kang Tutang, Kang Uus, Acim, dan Dedi kecil. Di tempat ini kami maksi bersama. Budos Hira telah mengatur makanan bergizi untuk kami, istilahnya carbo loading.
Perjalanan yang sesungguhnya dimulai pukul 16.00. Kami didrop di WS yang telah ditentukan. Saya turun di Warung Sate Maranggi Mang Keuyeup. Di sana sudah banyak pelari lain dengan etape sama yang berkumpul bersama pendamping dan pengawal mereka. Karena itu, tempat tersebut jadi penuh dengan mobil, sedangkan lalu lintas juga sangat padat.
Saya menunggu kedatangan Mas Pras dari WS 10. Pukul 19.15, Mas Pras muncul dengan basah kuyup karena keringat dan hujan yang sempat turun sebentar. Dia lapor ke panitia, lalu kami melakukan serah terima buff dan membuat foto dokumentasi. Mulailah perjalanan saya dengan perlengkapan komplet: jersey dan rompi scott light hijau, lampu kelap kelip di tangan dan head light yang cukup berat rasanya di kepala.
Begitu melangkah, entah dari mana datangnya tahu-tahu Mas BWS sudah di belakangku. Sesuai dengan janjinya, Mas BWS menjadi pelari pendampingku. Saya pun melangkah sekuat tenaga mengingat jarak yang ditempuh cukup jauh, sekitar 11 km. Sementara hari sudah malam, tidak ada trotoar, dan lalu lintas cukup padat dengan kendaraan besar. Gerak saya terbatas karena permukaan lintasan merupakan kerikil pecah. Debu beterbangan di sekitar saya. Saya berjalan kadang di bahu jalan, kadang di garis putih tepi jalan. Langkahku terseok-seok seperti orang mabuk, kadang tersandung seperti akan jatuh. Untunglah Mas BWS terus memandu saya, memilihkan jalur mana yang harus ditempuh. Juga ada Kang Tutang sebagai pengawal yang setiap jarak tertentu berhenti untuk memonitor sehingga saya merasa aman.
Sebelumnya saya sudah membuat patokan. Jika sudah sampai jembatan Citarum, berarti tugas saya tinggal setengah lagi. Tapi, malam itu rasanya setengah perjalanan menuju Masjid Rajamandala panjang banget, tak kunjung tiba di tujuan. Namun, kuayunkan langkah terus dan terus, hingga akhirnya tiba juga di garis finis. Saya lapor kepada panitia dan menyerahkan buff kepada Roy yang menjadi pelari selanjutnya.
Ada yang belum saya ceritakan. Seminggu sebelum hari H, kedua mata saya bengkak kemerahan seperti habis digebukin dan tidak bisa dibuka. Mungkin kena debu ketika saya uji coba di etape saya. Bengkaknya serius, sampai mataku seperti penuh dengan butiran pasir. Tak berani saya mengunggah foto saya. Takut dikira menyaingi RS dan membuat onar. Saya ke dokter mata sampai 2 kali. Alhamdulillah dua hari menjelang hari H, mataku sembuh total.
Demikianlah catatan pengalaman pertama sebagai marathoner. Terima kasih teman-teman, saya sudah dipercaya menjadi tim kebanggaan ITB ‘70 di BNI-ITB UM 2018. Bravo ITB ‘70!