SEBAGAI alumni Teknik Mesin FTMD ITB, tersirat rasa bangga dalam diri Harki Apriyanto Wangidjaja saat berbicara tentang BNI-ITB Ultra Marathon. Tak disangka, acara yang diinisiasi fakultasnya bisa menjadi ajang akbar yang selalu dinantikan oleh alumni. Hal itu tak pernah terbayangkan sebelumnya, apalagi ia tahu betul bagaimana proses acara ini terselenggara dari awal.
“Di BNI-ITB Ultra Marathon semuanya terlihat seperti gotong royong. Ada spirit ‘yuk kerja bareng’, spirit kebersamaan yang membuat saya sangat terharu. Ketika di Puncak misalnya, itu sudah seperti arak-arakan wisuda ITB dari Jakarta ke Bandung. Melihat animo alumni berbagai angkatan dan jurusan berbaur dan bersatu sangat menyentuh hati saya,” ujar alumni Teknik Mesin angkatan ’97 ini.
Harki menuturkan, BNI-ITB Ultra Marathon muncul dari ide rekan-rekannya di Teknik Mesin untuk menggalang dana abadi untuk membantu fakultas. Kemudian, muncul usulan untuk menggelar lomba lari. Ia mengaku, menjadi salah seorang yang mengusulkan untuk menggelar long run. Dengan pertimbangan, lewat kegiatan itu bisa mengumpulkan massa dan dana.
“Awalnya saat berdiskusi, ada yang menyarankan untuk memilih golf atau bersepedah dan tidak usah muluk-muluk, ini acara untuk alumni saja. Namun, kalau golf terasa eksklusif. Artinya tidak akan bisa menghimpun banyak orang. Tiba-tiba saja muncul ide lari, lalu ada yang nyeletuk kita bikin besar saja,” sebutnya.
Dalam penyelenggaraan BNI-ITB Ultra Marathon 2017, ia tidak bergabung dalam kepanitiaan, tetapi turut membantu persiapan. Namun, sebagai salah seorang pehobi lari dan juga menekuni triathlon, dia turun menjadi peserta. “Karena sibuk dengan pekerjaan dan punya anak pertama, saya tidak ikut dalam kepanitiaan saat itu,” tutur pria yang mengajar di Politeknik Manufaktur Astra ini.
Tiga kali mengikuti BNI-ITB Ultra Marathon meninggalkan cerita yang berbeda. Pada 2017, misalnya, menurut Harki, sebenarnya ia cukup nekat memutuskan ikut berlari dari Jakarta ke Bandung. Saat itu persiapannya tak cukup baik. Setelah berkeluarga, persiapan jadi kurang. Secara fisik, daya tahan menurun. Saat tiba di kawasan Gadog pada siang hari, ia mulai merasakan kondisinya benar-benar drop dan mengantuk berat. Ia pun memutuskan untuk istirahat di pangkalan ojek.
“Waktu itu saya bareng Hendrik (Mesin ‘96). Saya suruh dia duluan dan saya memutuskan untuk tidur sebentar di pangkalan ojek. Mang ojeknya nanya, ‘Aya naon?’ Saya jelasin terus tidur sekitar 15 menit dan pasang alarm. Lucunya waktu bangun sudah ada teh manis dan sempat mengobrol dulu sebentar lalu melanjutkan perjalanan,” ujarnya mengenang.
Rasa lelah kembali mendera saat tiba di kawasan gunung kapur Citatah. Saat itu sudah memasuki Subuh. Suasana lengang membuatnya mengantuk. Harki pun memutuskan untuk tidur di emperan. Setelah menghilangkan rasa kantuk, Harki pun melanjutkan perjalanannya dan kembali beristirahat di bangku poliklinik di Cimahi.
“Sebenarnya masih ada selisih waktu sekitar 1-2 jam dari COT. Secara hitungan dibawa jalan pun dari Cimahi sampai ke kampus ITB masih aman. Setelah sempat beristirahat, saya kembali melanjutkan perjalanan dan masuk ITB itu bareng beberapa teman ITB,” ucapnya.
Pada tahun 2018 dan 2019, Harki berpartisipasi memakai nama orang lain, menggantikan temannya yang batal ikut karena sesuatu hal. “Tapi, itu tidak keluar dari sistem yang sudah dibangun teman-teman,” ucap ayah tiga orang anak ini.
Menurut Harki, BNI-ITB Ultra Marathon membawa gairah tersendiri bagi pencinta lari. Mahasiswa mulai tertantang untuk mulai ikut lari jarak jauh. Mereka terpacu oleh seniornya yang walau sudah berumur, masih memiliki spirit luar biasa ikut ultra marathon.
“Kalau melihat vibe-nya, saya harap BNI-ITB Ultra Marathon ke depannya bisa seperti Boston Marathon. Tiap tahun ada dan semua orang bisa terlibat,” ujarnya.*